Menjelang pemilu legislatif dan presiden 2009, politik identitas menjadi laris dimainkan. Politik identitas adalah jurus ampuh untuk menarik simpati pemilih dengan menjual identitas tertentu. Misalnya suku, agama dan identitas lain yang dapat menarik emosi pemilih dalam satu wilayah. Tidak bisa dipungkiri, politik identitas tumbuh subur di Negara kita. Selain karena faktor geografi, warisan politik masa lalu telah mengekalkan keberadaan politik identitas. Politik identitas berpotensi memecah belah persatuan, memunculkan konflik horizontal dan untuk jangka panjang dapat merusak tatanan pluralitas bangsa.
Pertarungan identitas di Indonesia melalui perjalanan yang panjang, baik waktu maupun konflik. Karena politik identitas, akhirnya Negara kita mengalami fragmentasi yang pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi, identitas mayoritas dan identitas minoritas. Identitas mayoritas akhirnya selalu memenangkan pertarungan, dan meninggalkan rasionalitas politik. Pertarungan tidak seimbang antara identitas mayoritas dan identitas minoritas, berpotensi memunculkan rasa ketidakadilan. Barangkali inilah alasan, mengapa di Negara kita ada beberapa daerah yang memilih untuk memekarkan diri atau yang paling ekstrim memisahkan diri dari NKRI. Sama sekali kita tidak menghendaki, Indonesia mengalami konflik seperti yang terjadi di Uni Soviet. Uni Soviet, Negara besar yang terbagi menjadi puing-puing kecil yang satu sama lain seringkali bersengketa.
Tiada kata lain selain: mengikis politik identitas sampai pada batas yang bisa ditolerir. Identitas pasti ada, tapi apabila ditonjolkan secara berlebihan akan berakibat fatal bagi persatuan dan kesatuan. Di AS, Barack Obama menjadi semacam matahari terbit yang lebih menonjolkan daya tarik personal (magnetic power) daripada politik identitas. Apabila Obama menonjolkan politik identitas, maka kemungkinan akan kalah karena identitasnya minoritas. Bagaimana dengan Indonesia? Belumkah ada matahari terbit yang mempunyai magnetic power daripada menonjolkan identitas kesukuan dan keagamaan belaka?
Catatan untuk teman-teman di KPM-KSM, meskipun bergabung dalam organisasi daerah, janganlah kemudian menonjolkan identitas kedaerahan secara berlebihan. Peran sebagai pengawal pluralitas (kemajemukan) akan lebih indah ketimbang berdiri pada satu kutub diantara kutub-kutub yang lain. Khususnya di asrama, jangan ada pembedaan suku atau agama. Berpikirlah secara luas, agar bisa menciptakan KERUKUNAN yang sesungguhnya.
Ahad, 15 Maret 2009
Jumansyah (Syah_251085@yahoo.com)
»» READMORE...
Pertarungan identitas di Indonesia melalui perjalanan yang panjang, baik waktu maupun konflik. Karena politik identitas, akhirnya Negara kita mengalami fragmentasi yang pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi, identitas mayoritas dan identitas minoritas. Identitas mayoritas akhirnya selalu memenangkan pertarungan, dan meninggalkan rasionalitas politik. Pertarungan tidak seimbang antara identitas mayoritas dan identitas minoritas, berpotensi memunculkan rasa ketidakadilan. Barangkali inilah alasan, mengapa di Negara kita ada beberapa daerah yang memilih untuk memekarkan diri atau yang paling ekstrim memisahkan diri dari NKRI. Sama sekali kita tidak menghendaki, Indonesia mengalami konflik seperti yang terjadi di Uni Soviet. Uni Soviet, Negara besar yang terbagi menjadi puing-puing kecil yang satu sama lain seringkali bersengketa.
Tiada kata lain selain: mengikis politik identitas sampai pada batas yang bisa ditolerir. Identitas pasti ada, tapi apabila ditonjolkan secara berlebihan akan berakibat fatal bagi persatuan dan kesatuan. Di AS, Barack Obama menjadi semacam matahari terbit yang lebih menonjolkan daya tarik personal (magnetic power) daripada politik identitas. Apabila Obama menonjolkan politik identitas, maka kemungkinan akan kalah karena identitasnya minoritas. Bagaimana dengan Indonesia? Belumkah ada matahari terbit yang mempunyai magnetic power daripada menonjolkan identitas kesukuan dan keagamaan belaka?
Catatan untuk teman-teman di KPM-KSM, meskipun bergabung dalam organisasi daerah, janganlah kemudian menonjolkan identitas kedaerahan secara berlebihan. Peran sebagai pengawal pluralitas (kemajemukan) akan lebih indah ketimbang berdiri pada satu kutub diantara kutub-kutub yang lain. Khususnya di asrama, jangan ada pembedaan suku atau agama. Berpikirlah secara luas, agar bisa menciptakan KERUKUNAN yang sesungguhnya.
Ahad, 15 Maret 2009
Jumansyah (Syah_251085@yahoo.com)